(Puisi ini tersiar di Majalah Tunas Cipta, Edisi Mac 2009)
Wajahmu ada rona sendu
tatkala gapaian sinar itu
hilang ditelan lewat debu
kaki gergasi bersenjata.
Matamu ada naratif seribu duka,
jadi saksi lautan darah
yang mengalir penuh rasa
dari bolosan peluru syaitan yang tembus ke jiwa syahid.
Tangan kerdilmu bernoda debu
dan asap hitam bunga api kejam
yang meremukkan lantai maruah bumimu.
Namun tetap gigih kau kutip kerikil itu,
kau lontar amarahmu
pada bajingan yang bangga
mengusung senjata meraih picu.
Kaki comot kelabumu
comel berlari mara
bersama kerikil itu,
bagimu mungkin cukup menggadaikan
tragisnya mati si ayah ibu.
Namun kau tidak mengerti,
kenapa mereka harus mati di hujung jari keparat itu.
Dan kau lagi tidak mengerti,
mengapa tiba-tiba
darah merah itu mengalir hebat dari perutmu
yang kosong tak terisi!
Si Kandil Hijau,
Kota Iskandariah.
Wajahmu ada rona sendu
tatkala gapaian sinar itu
hilang ditelan lewat debu
kaki gergasi bersenjata.
Matamu ada naratif seribu duka,
jadi saksi lautan darah
yang mengalir penuh rasa
dari bolosan peluru syaitan yang tembus ke jiwa syahid.
Tangan kerdilmu bernoda debu
dan asap hitam bunga api kejam
yang meremukkan lantai maruah bumimu.
Namun tetap gigih kau kutip kerikil itu,
kau lontar amarahmu
pada bajingan yang bangga
mengusung senjata meraih picu.
Kaki comot kelabumu
comel berlari mara
bersama kerikil itu,
bagimu mungkin cukup menggadaikan
tragisnya mati si ayah ibu.
Namun kau tidak mengerti,
kenapa mereka harus mati di hujung jari keparat itu.
Dan kau lagi tidak mengerti,
mengapa tiba-tiba
darah merah itu mengalir hebat dari perutmu
yang kosong tak terisi!
Si Kandil Hijau,
Kota Iskandariah.
0 Lintasan Hati :
Catat Ulasan